Iedul Adha 2024: Menghayati Makna Kurban di Tengah Krisis Ekonomi

Tahun 2024 adalah tahun yang penuh tantangan bagi banyak orang. Hari raya kurban (Iedul Adha) kali ini bertepatan dengan kondisi ekonomi di Indonesia yang suram. Ratusan ribu karyawan kehilangan pekerjaan, puluhan pabrik besar tutup, dan berbagai masalah ekonomi lainnya yang memperparah keadaan. Dalam situasi seperti ini, makna kurban menjadi sangat relevan dan perlu kita renungkan lebih dalam.

Kisah Inspiratif dari Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail

Iedul Adha memiliki akar sejarah yang kuat dari kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Ketaatan Nabi Ibrahim kepada Allah dan kesediaannya untuk mengorbankan putranya, Nabi Ismail, adalah contoh luar biasa dari kepasrahan total kepada Sang Maha Kuasa. Allah menggantikan Nabi Ismail dengan seekor domba sebagai bukti rahmat dan pengampunan-Nya. Kisah ini mengajarkan kita tentang kepasrahan dan pengorbanan sejati.

Hakikat Kurban: Mengikhlaskan yang Kita Sayangi

Pada intinya, kurban adalah tentang merelakan apa yang kita sayangi. Bukan hanya sekadar menyembelih hewan kurban, tetapi juga mengorbankan ego, ambisi, dan kepentingan pribadi demi kebaikan bersama. Tahun 2024 ini, banyak dari kita yang menghadapi kesulitan. Sahabat atau tetangga yang kelaparan, saudara yang mungkin anak atau istrinya sakit, atau orang tua yang kesulitan membayar biaya sekolah anaknya. Di saat-saat seperti ini, kita dihadapkan pada pilihan yang sulit.

Membantu Sesama atau Membeli Hewan Kurban?

Dalam situasi ekonomi yang berat ini, pertanyaannya adalah: mana yang lebih utama, membeli sapi atau kambing untuk kurban, atau membantu tetangga dan saudara yang membutuhkan? Bisakah kita ikhlas mengorbankan hasil kerja keras kita, yang mungkin diperoleh dengan penuh perjuangan dan stres, demi membantu sesama? Bayangkan kita mengerjakan suatu project besar berbulan-bulan, penuh dengan resiko dan stress yang tinggi serta menghabiskan banyak waktu dan energi. Tapi saat project sudah selesai ternyata ada orang di sekitar kita yang membutuhkan rezeki dari project tersebut. Apakah kita bisa ikhlas memberikannya?

Atau, apakah kita lebih memilih untuk membeli hewan kurban seperti Sapi Limosin, buat post viral,  dan mengadakan pesta sate bersama keluarga atau tetangga?

Menghayati Kurban di Tengah Krisis

Saya teringat pada sebuah kisah tentang seseorang yang membatalkan niatnya untuk naik haji demi menolong sesamanya yang lebih membutuhkan. Kisah ini mengajarkan kita bahwa makna dari beragama bukan sekadar ritual, melainkan juga tentang kepedulian sosial dan empati. Di zaman modern ini, beragama sering kali hanya menjadi tontonan: umrah untuk update status, membeli sapi untuk diposting di media sosial agar viral, dan sebagainya.

Namun, esensi dari kurban sebenarnya adalah bagaimana kita bisa menolong dan berbagi dengan sesama, terutama di masa-masa sulit seperti sekarang ini. Jika kita mampu merelakan sebagian dari apa yang kita miliki untuk membantu orang lain yang lebih membutuhkan, maka kita telah memahami dan menghayati makna kurban yang sesungguhnya.

Penutup: Makna Kurban yang Sesungguhnya

Hari raya kurban 2024 ini, mari kita renungkan kembali makna dari kurban. Mari kita berusaha untuk tidak hanya melakukan ritual semata, tetapi juga menghayati dan menerapkan nilai-nilai pengorbanan dan kepedulian dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, kita bisa menjadi umat yang tidak hanya taat beribadah, tetapi juga memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Selamat Iedul Adha, semoga kita semua bisa menjadi pribadi yang lebih ikhlas dan peduli terhadap sesama.

[Opini] Kenaikan UKT Perguruan Tinggi di Indonesia Tahun 2024

 Menanggapi isu Uang Kuliah Tunggal (UKT) Mahal di Perguruan Tinggi (PT) akhir-akhir, ini saya memiliki cara pandang yang sedikit berbeda dari opini umum.

Saya paham/setuju bahwa:

  1. PT penting dan merupakan salah satu cara untuk mencerdaskan bangsa.
  2. Pendidikan harus terjangkau untuk semua golongan ekonomi di masyarakat, terutama golongan menengah ke bawah.

Masalah UKT perlu diakui bukan masalah sederhana. Mengapa?

  • Kemandirian kampus sebenarnya bagus (walau income kampus tidak harus dari UKT)
  • Pengeluaran kampus memang meningkat (karena inflasi, kenaikan gaji pegawai, harga bahan lab yang naik, dsb).
  • Subsidi pemerintah cenderung kurang/berkurang (biasanya terkait bentuk badan hukum PT, misal BLU, PTNBH, dsb).
  • Indonesia belum cukup kaya dan punya sistem yang baik seperti Jerman untuk bisa menggratiskan biaya PT.
  • Saya pribadi merasakan terkadang ada cukup banyak mahasiswa yang "take it for granted" (kurang bersyukur) dari SPP yang "relatif" murah. Misal: cukup banyak mahasiswa yang belajarnya kurang rajin/giat/tekun ketika menjadi mahasiswa.

Kalau saya boleh usul ke "Mas Menteri", mungkin saran berikut bisa jadi jalan tengahnya:

  1. UKT boleh naik sesuai kebutuhan kampus (yang pasti berbeda-beda) berdasarkan aturan yang ada saat ini (naik dalam batas kewajaran).
  2. Tapi, sekitar 10-15% mahasiswa mendapatkan beasiswa penuh (full scholarship) dan diutamakan diberikan kepada golongan ekonomi menengah kebawah.
  3. Poin ke-02 dipilih berdasarkan prestasi dan kemampuan akademik dan harus terus dimonitor selama mahasiswa aktif kuliah. Dengan sanksi yang disesuaikan jika mahasiswa tidak menjaga performa akademik yang baik selama kuliah.

"Menurut saya" solusi diatas bisa mewakili kebutuhan kampus sekaligus juga mengakomodir golongan ekonomi menengah ke bawah yang "betul-betul ingin belajar dengan sungguh-sungguh" di PT. Solusi ini juga "mendidik" sekaligus menjadi sarana pemerataan ekonomi yang berkeadilan sesuai sila kelima Pancasila.

Tentu saja apapun keputusan kampus/kementrian tidak akan ada solusi sempurna. Pasti ada plus-minusnya bagi pihak-pihak tertentu.

Wallahu'alam Bishawab.

JustMy2Cents

Sharing Pengalaman "Mati Suri"

 Hari ini 20 Ramadhan 1445H (30-03-2024 M) ... badan agak anget. Sudah beberapa hari ini mulai berasa akan sakit. Tapi kepikiran ingin nulis sesuatu yang sudah lama ingin ditulis, tapi ndak pernah sempat karena berbagai kesibukan.

Sekitar 2 bulan yang lalu saya operasi tumor di kepala, tumornya jinak, tapi karena sudah hampir sebesar rambutan (& ada di kepala) jadi ya sakitnya luar biasa. Ditambah lagi karena rasa sakit tersebut, tidur jadi sangat kurang. Bahkan saat itu Saya ndak ingat kapan bisa tidur >4jam dalam sehari. Biasanya hanya 1-3 jam dan berlangsung selama lebih dari 2 bulan. Obat tidur, minum susu, mandi air hangat, dan berbagai macam cara sudah dicoba tapi tidak ada yang efektif.

Walhasil walau tumornya jinak, tapi saat itu kondisi kesehatan termasuk masa yang paling kritis dalam hidup saya. Sekitar 1-2 minggu sebelum operasi (lupa tepatnya) di tengah malam tiba-tiba saya merasakan sesuatu yang saya yakini "Mati Suri". Karena tidak diverifikasi dokter, jadi ndak bisa saya pastikan.

Tapi yang saya rasakan saat itu selama kurang lebih 3 menit saya berhenti bernafas dan jantung berhenti berdetak. Tulisan ini adalah pengalaman saya ketika hal itu terjadi. Menariknya yang saya rasakan tidak seperti yang ditunjukkan di film-film, misal melihat tubuh sendiri dari atas atau melihat lorong cahaya, atau semacamnya. Berikut ini beberapa hal yang saya rasakan saat itu:

  1. Saya tidak bisa melihat, tidak bisa merasakan (kulit: panas/dingin/sentuh), dan tidak bisa mendengar apapun. Saya tidak bisa merasakan saya bernafas atau jantung saya berdetak atau rasa sakit di kepala. Kalau difikir-fikir "make sense" karena semua panca indera dan organ tubuh berhenti berfungsi.
  2. Kesadaran masih ada, tapi karena semua panca indera tertutup saya sulit menuliskannya dengan kata-kata. Seperti saya ada, tapi hanya kesadaran ... saya ada di kamar tapi "sepertinya" sudah di dimensi yang berbeda. 
  3. Anehnya saya masih merasakan "perasaan" orang-orang di sekitar. Saya sulit menyatakan ini dalam kata-kata, tapi saya cuma punya satu saran bila anda berada di dekat kerabat/saudara/teman yang baru saja meninggal. Menurut pengalaman saya: Your feeling matters, your words not so.
Saya ndak tau kenapa Tuhan masih memberi saya waktu di dunia ini. Btw, Alhamdulillah operasi berjalan lancar dan saya sekarang sudah "pulih" ... except for this light fever that I start to feel

Trying to live my life the best that I can, God give me a second chance ... #Bismillah

Ngabuburit nulis Blog,

</TS>®


Ilustrasi yang saya buat dengan AI untuk melukiskan apa yang saya alami.


I am Busy

 Masih terngiang di ingatan, seolah-olah baru saja menutup telephone sehabis melepas rindu berbicara dengan orang tua. Sangat vivid sekali di fikiran saya Almarhumah Ibu pasti selalu memulai percakapan dengan "Assalamu'alaikum, maaf dek... lagi sibuk ndak? Ibu ..." atau Almarhum Bapak "Assalamu'alaikum ... Adek lagi sibuk ga? Bapak ..." Suara mereka ketika berkata ini saya rekam dalam otak saya dan menjadi harta berharga dalam ingatan/momen dalam hidup saya.

Demi Allah saya super-super sangat bersyukur (seingat saya) ndak pernah bilang "lagi sibuk" ke orang tua, ndak peduli sebenarnya ada berapapun atau sebesar apapun deadline saat itu. Jangankan ke orang tua, ke orang lain-pun saya pribadi biasanya "malu" untuk bilang "saya lagi sibuk".* 

Istri saya sering menganggap saya "stupid" karena hal ini. Secara logika memang iya, sering banget saya mengorbankan waktu tidur atau waktu mengerjakan tugas/kerjaan yang lagi mepet deadline untuk orang lain. Bahkan ke orang-orang yang menghubungi kadang kalau lagi butuh aja dan setelah dibantu tiba-tiba lupa ingatan .. 😅 .. Regardless, saya sendiri merasa ndak masalah kalau mereka seperti itu, bahagia bisa bermanfaat bagi orang lain itu adalah reward saya. Bagi saya pribadi lebih baik jadi orang stupid tapi bermanfaat bagi orang lain, ketimbang jadi pintar dan hebat tapi untuk diri sendiri.

Membagi waktu dengan orang lain sejatinya kita (literally) memberikan sebagian hidup kita. Uang bisa dicari, tapi waktu tidak akan pernah kembali. Wajar saja banyak orang selektif dalam membagi (waktu) hidupnya dengan orang lain. Sehingga jangan lupa untuk berterima kasih sebesar-besarnya jika ada orang yang mau meluangkan waktunya untuk kita. Walau untuk sekedar bercakap via messaging application (misal WA).

Ada yang bilang juga "sibuk" itu sebenarnya tidak ada. Yang ada adalah prioritas, ... itulah mengapa kadang saya suka malu bilang saya lagi sibuk. Karena sesibuk apapun, saya masih suka tiduran, pegang HP dan buang waktu (hidup) dengan scroll-scroll media sosial atau kegiatan useless lainnya. Ketimbang begitu, sebenarnya bantu teman/saudara/apalagi orang tua lebih penting kan?... 

Saran saya jika memang super-super sibuk banget lebih baik (seharusnya) HP dijauhkan/matikan saja. Ketimbang bilang "saya sibuk" tapi ternyata masih suka buang waktu. Hal ini akan menyakiti perasaan orang lain yang mungkin darurat butuh sekali bantuan kita. Wallahu a'lam bishawab.

* Saya sering bilang sedang sibuk biasanya hanya ke tele-marketer, karena emang ganggu banget dan menurut saya useless banget.


Pulse Secure Connection Problem

 If your organization use Pulse Secure (PS) VPN software to connect to institutional e-resources such as HPC, database, or repository and you are having a connection issue (keep disconnecting after just a few seconds) well you are not alone. After a minute of searching in Google, you will find many people are having the same issue. What is so disappointing about this is, a lot of threads have "Solved" tags, but no real solution is given.

In this short blog, I would like to share my solution. First thing first, I am using windows 11 and working somewhere in UAE (I think it should also work with windows 10). When reporting the issue to IT administrator, I was given a recent version of PS Launcher (in my case 9.1.13 build 12971). They told me to remove the old one before using the latest one. I tried doing that and the issue is gotten worse. The new PS launcher can not even detect the setting from the institution server/network.

My workaround is as follow:

  1. Install the old version (the one that has some issue in the first place).
  2. Get the secure connection setting from your institution's server.
  3. Close PS: right-click the bottom-right corner PS icon and choose "exit".
  4. Install the PS latest version (do not uninstall the previous version).
  5. Restart your machine.
  6. Try connecting via The Pulse Secure as you would normally do.

I know that this solution is not elegant in any way, but it works for me. I waste quite a lot of time trying to troubleshoot this issue and frankly speaking really disappointed with Pulse Secure and the company behind it. 

Hopefully, this short blog can help others save their precious time.

Cheers,

</Taufik Sutanto>
UAE, 27-March-2022

PS: You can not download the latest PS launcher app from the company website, you have to ask your IT administrator in your institution for it (another bummer  -_-"  ).