Seperti Bada Jumat lainnya, saya mampir untuk menyantap bebek Laksa atau XaHoFan seafood langganan tak jauh dari tempat shalat Jumat. Biasanya saya bukan mahluk sosial yang suka berinteraksi, namun hari itu entah ada angin apa, tiba-tiba mengajak kenalan & ngobrol dengan seorang bapak setengah baya disampingku yang juga menunggu pesanannya datang. Selalu saja ada hal yg menarik saat kita bercakap dengan orang asing. Percakapan kali ini tidak terkecuali…
Ia adalah pegawai perusahaan minyak internasional dengan seorang putri yang telah 4 tahun tinggal di Brisbane. Sebagai pegawai perusahaan minyak internasional ia terbiasa hidup nomaden, berpindah-pindah negara setiap 2-5 tahun sekali. Perbincangan kamipun fokus pada wawasan (wisdom) lokal yang didapat saat kita jauh dari kampung halaman.
Singkat cerita, kami tiba di suatu fase dimana kami sama-sama terkagum dengan satu hal penting yang sering ditemukan di sistem pendidikan di negara lain, tapi sayangnya jarang ditemukan di negeri sendiri. Yaitu menghargai “suatu” kelebihan sang anak & tidak memaksa anak untuk unggul/excell di semua bidang. Sebagai orang tua kami sama-sama hawatir dengan guru, orang tua, & sebagian besar masyarakat di Indonesia yang hanya menghargai anak-anak yang “juara”, anak-anak yang memiliki nilai bagus di semua pelajaran. Padahal saat mereka dewasa kelak, mereka tidak diharapkan untuk pandai di semua bidang.
Teringat, kemarin sempat membaca surat yang sangat indah dari seorang guru di Queensland kepada murid-muridnya sebelum mereka menghadapi tes Naplan (tes Nasional di Australia-mirip UN). isi suratnya menceritakan bagaimana sang guru sangat menghargai prestasi atau kelebihan sang murid di bidang apapun.
Budaya merendahkan kemampuan anak tidak hanya banyak dilakukan oleh para guru di sekolah. Sebagai seorang dosen yang pernah mengajar di berbagai tempat selama lebih dari 12 tahun saya sangat familiar dengan adanya dosen-dosen yang merendahkan mahasiswa karena IPK-nya yang tidak “wah”. Padahal mungkin mahasiswa tersebut sangat cerdas di suatu bidang tertentu atau suatu grup mata kuliah tertentu. Tidak seperti istri saya yang memiliki IP super, Saya sendiri tidak pernah punya IPK yang wah selama study dulu (paling baru saat S3 ini), walau demikian Alhamdulilah mampu menggapai semua cita-cita yang saya impikan, bahkan lebih dari yang di duga. Tanpa korupsi atau menggunakan uang negara (apalagi uang mahasiswa), saya sangat bersyukur bisa bepergian keliling dunia bermodalkan ilmu untuk studi di berbagai universitas papan atas dunia, atau untuk sekedar seminar/konferensi.
Perbincangan saya dengan “mr B”, di Satay Club menyadarkan saya untuk memiliki cara pandang yang berbeda saat berinteraksi dengan mahasiswa nanti saat saya kembali ke Indonesia. Sebagai dosen yang bertugas sebagai pendorong mahasiswa untuk mencapai cita-citanya (tut wuri handayani) saya sekarang akan berusaha untuk lebih fokus melihat kelebihan unik dari setiap mahasiswa dan bukan sekedar IPK yang sebenarnya “bias”.
Semoga para orang tua, guru, dan dosen lain juga bisa bersama-sama lebih jeli lagi untuk melihat kelebihan anak yang unik satu sama lain, tidak memaksakan mereka untuk unggul di semua bidang, dan biarkan mereka menjadi ahli di bidang yang mereka sukai. Kelak tugas utama mereka sebagai manusia adalah memanfaatkan kelebihannya untuk menolong orang lain yang membutuhkannya. Padanya ada keindahan saling tolong menolong dan bekerja sama. Padanya sebuah harapan besar bagi Indonesia yang lebih baik, lebih harmonis, damai dan indah.
Wallahu a’lam bishawab.
Instead of competing with each other, it will be so much easier and more beautiful to complete each other … ^_^ … Don’t you agree?