Saya Tidak Percaya!

"Saya tidak percaya!" menjadi suatu kalimat pendek yang mulai sering kita dengar di era teknologi informasi. Ironi, namun intuitif. Seperti "Big Data", saat data semakin besar, maka ada kecenderungan kualitas data menurun karena "noise" semakin banyak.

Sebelum era media sosial masyarakat hanya memiliki 2 sumber informasi utama: pemerintah dan media masa. Namun di jaman media sosial masyarakat juga seakan berlomba menjadi pembawa, bahkan pembuat berita. Mulai dari laporan kemacetan, review kuliner, unboxing gadget/automotif, hingga "opini" politik & ekonomi bangsa. Sebenarnya kalau hanya laporan kemacetan jalan atau review/pendapat jujur tentang hal umum seperti gadget, automotif, atau kuliner. Justru bermanfaat.

Sayangnya tidak jarang kita membaca seorang sarjana hukum dengan prestasi seadanya berbicara dengan lantang tentang ekonomi makro & mikro bangsa, lulusan sastra nyaris DO yang tiba-tiba ahli politik, atau bahkan lulusan kursus online gratisan yang menghardik ilmuwan NASA. List ini semakin panjang dan menghawatirkan. Latar belakang pendidikan & pekerjaan mereka tidak cocok dengan perkataannya seperti mesin sablon pakaian yang dipakai untuk membuat Bakso atau Onde-Onde: "ndak nyambung".

Sebenarnya ga perlu juga justifikasi pendidikan formal yang mumpuni. Namun jika tidak, paling tidak tunjukan prestasi atau pengalaman kerja terkait relevan. Agar ...

Sayangnya lagi review barang-pun mulai diracuni oleh teknik/strategi hitam politikus di medsos. Awalnya dahulu ada istilah "black campaign sales merek sebelah", tapi belakangan seperti ada gejala Fitnah para pengguna medsos di dunia politik. Misal "saya sih pecinta/pemakai merk X,... tapi ....". Black campaignnya ditutupi dengan dusta bahwa ia pemakai produk, padahal terkadang ternyata sales/orang bayaran dari merk sebelah.

Jika "bukan ilmunya, tunggulah kehancuran". Boleh opini, kalau memang bidang pendidikan atau pekerjaannya. Saatnya membuang jauh fikiran bahwa kita bisa menjadi orang bermanfaat atau "berjuang" karena share sesuatu diluar bidang keahlian kita. Karena "bisa jadi" justru sebaliknya, lebih banyak mendatangkan kehancuran dan keburukan ketimbang kebaikan.

"Tapi saya punya opini hebat tentang politik, ekonomi, atau bahkan antariksa" ... ya silahkan saja. Tapi dalami dulu ilmunya, hingga tidak seperti "Tong kosong yang nyaring bunyinya". Kalau untuk belajar saja malas, jangan bermimpi bermanfaat bagi umat/bangsa. Kata Pak Ustad ijtihad kalau benar 2 pahala, kalau salah 1 pahala. Tapi ini hanya berlaku bagi para cendikia yang telah mendalami ilmunya.

Opini boleh ... Tapi masyarakat kita terkadang lupa bahwa opini bukanlah fakta. Lalu darimana kita mendapat informasi? ... Katanya media memihak ... Media pasti tetap punya bias (karena pemilik medianya, siapa yg berkuasa, dl). Namun hal ini sebenarnya cukup "wajar", sebagaimana di Statistik/Data Science bias tidak akan pernah nihil (misal induktif bias). Silahkan pilih media resmi pilihan anda dengan bias yang menurut anda minimal. Kalau mau bijak, silahkan baca dari media resmi dari semua pihak, lalu tarik "benang merah" dengan jujur dan pikiran terbuka (open mind).

Jangan juga lupa "seburuk-buruknya" media resmi, ada yang bertanggung jawab dan anda bisa menuntut pertanggungjawaban kepada mereka secara hukum bila mereka berdusta/fitnah. Begitu juga bila Pemerintah berdusta, maka masyarakat bisa menuntut ... Namun sharing dari sembarang blog/website yang tidak tau siapa pemiliknya, maka kita tidak pernah tau siapa yang harus bertanggung jawab dan-atau apakah mereka mau bertanggung jawab atas apa yang mereka sampaikan.

Tantangan media masa untuk menyajikan informasi dengan cara yang lebih baik, saran saya sebagai seseorang praktisi dan peneliti yang cukup banyak mengolah konten digital di dunia maya:

[1]. Hindari judul click bait: walau secara teori jadul akan meningkatkan trafic & merupakan salah satu teori/teknik utk membuat pembaca tertarik untuk membaca isi berita, tapi karena budaya digital telah berubah, sekarang artikel dengan clickbait akan dinilai sebagai artikel murahan. Alternatifnya, coba judul yang elegan dengan idiom atau istilah baru (trending) yang terkesan cerdas.

[2]. Kembali ke teknik jurnalistik yang baik. Setiap berita cantumkan dengan baik sumber informasinya, kapan/dimana terjadinya dengan jelas, dan sebanyak mungkin perspektif dari berita/informasi yang disampaikan. Jika ada pernyataan kuat gunakan kutipan langsung dan sebisa mungkin sertakan rekaman video atau suara. Coba berinovasi dengan setiap kutipan langsung disertakan link video/suaranya.

[3]. Gunakan teknik menulis yang "kekinian". Bisa dengan gaya menulis ringan yang menghibur, atau justru teknik formal dengan berbagai referensi agar terkesan profesional dan bertanggung jawab. Gunakan dinamisnya teknologi website (html5/javascript): buat konten page yang dinamis dengan referensi yang pop-up saat mouse over, floating thumbnail video, atau hal kreatif lainnya.

Saya bertanggung jawab penuh atas tulisan "Opini" ini.

Minggu pagi, Depok, 4 Maret 2018,

< / Taufik Sutanto >