Kontribusi untuk Negeri: Eksklusif VS Inklusif

Walau sering di jejali dengan berita politik & artis yang tak kurang bermutu, sesekali berita yang menyejukkan hati seperti prestasi sejumlah anak negeri muncul ke permukaan. Sebut saja contohnya berita tentang para peraih medali emas olimpiade sains, mas Ricky Elson yang penuh dedikasi, Pak Habibie yang sangat saya hormati & kagumi dengan karyanya, atau sederetan nama besar lainnya yang terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu. Sontak berita baik seperti ini membuat semangat membuncah, impian untuk mengikuti jejak mereka-pun biasanya seketika membara dalam dada. Namun demikian, tanpa mengurangi rasa hormat, terima kasih, dan kagum saya akan orang-orang hebat ini, ada sesuatu yang agak mengganjal di hati. 

Sepintas ada rasa takut … takut jika ada anak negeri yang merasa tidak mampu berkontribusi ke negeri hanya karena merasa tidak mampu menjadi sehebat anak-anak jenius yang bisa memperoleh medali emas atau membuat mobil atau pesawat yang canggih. Saya takut para pedagang kecil atau buruh pabrik atau petani, nelayan, para pegawai, serta sebagian besar masyarakat Indonesia yang lain merasa berkecil hati dan berfikir bahwa “berkontribusi untuk negeri” harus berbentuk sesuatu yang “wah” yang harus masuk media masa seperti koran dan TV untuk syah dikatakan telah berkontribusi untuk negeri.
Padahal besar dan majunya suatu negeri adalah kontribusi dari setiap elemen masyarakat & tidak hanya hak prerogatif (eksklusif) mereka yang “berprestasi”. Para pedagang, ibu rumah tangga, petani, buruh pabrik, petugas kebersihan, dosen, polisi, satpam, dsb-nya adalah juga penentu utama majunya negeri ini. Semua warga negara bisa berkontribusi untuk negeri ini, apapun profesi, tingkat pendidikan, kekayaan, atau kecerdasan mereka. Suatu kontribusi yang nampaknya kecil, namun rutin & dilakukan banyak orang, sesungguhnya bisa jadi lebih berarti dari kilau medali bertaraf internasional atau canggihnya suatu piranti karya anak negeri.
Pedagang Bakso yang menghasilkan bakso yang sehat & dijual dengan senyuman yang ramah, petugas kebersihan yang bekerja dengan rajin & menyapa dengan ramah di pagi dan sore hari, Satpam yang bekerja dengan baik serta baik hati dan santun, pegawai yang tekun dan giat bekerja, guru/dosen yang mengajar dengan sepenuh hati, murid dan mahasiswa yang belajar dengan penuh dedikasi, warga yang menjaga ketertiban & membuang sampah pada tempatnya, warga yang saling menghormati antar suku, adat, dan agama, serta masih banyak lagi. Keseluruhan hal ini dapat membuat Indonesia menjadi negeri nomer satu, minimal nomer satu di hati para penduduknya, terlepas dari banyaknya devisa tersimpan, GDP, kurs rupiah, dan ukuran-ukuran ekonomi lainnya.
Bayangkan betapa indahnya jika para pengangguran yang ada saat ini menyibukkan diri dengan kegiatan sosial (volunteer) sambil mereka menunggu mendapatkan pekerjaan yang mereka impikan. Bayangkan jika para politikus berhenti merendahkan lawan politiknya atau sejenak saja mereka berhenti terobsesi memenangkan pemilihan berikutnya. Bayangkan jika semua fikiran fokus untuk menjadi diri mereka sendiri yang baik untuk membangun negeri ini. Tidakkah ini makna sesungguhnya bersama membangun negeri ???…
Berkontribusi untuk negeri sepengetahuan saya bukanlah ekseklusif untuk mereka yang mampu bersinar di koran atau televisi. Membangun negeri yang saya tau adalah inklusif, semua elemen bergerak bersama bagaikan koordinasi semua komponen di sebuah mesin bekerja-bersama. Semua komponen memegang peran penting sendiri-sendiri, namun satu sama lain saling membutuhkan untuk menjadi sebuah mesin yang dapat bekerja dengan baik. Tidak perlu menjadi jenius atau berprestasi untuk berkontribusi, cukup lakukan dengan baik peran kita masing-masing dalam society (masyarakat). Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bunda Teresa:
Not all of us can do great things. But we can do small things with great love.” atau apa yang pernah di sampaikan oleh Ustadz AA Gym:
AA Gym
Wallahu’alam Bishawab,
Beginning of the most beautiful time of the year: Spring, 19 Sep 2015 @ Bne.
</TES>®